Taman Ujung, Sebuah Istana Air Bagi Raja
Taman Ujung adalah sebuah situs warisan dari kerajaan Karangasem, yang baru saja dipugar oleh pemerintah, bersama dengan berhektar-hektar taman dan dua buah kolam besar disekitarnya.
Taman Soekasada Ujung, juga dikenal sebagai Istana Air Ujung
atau Taman Ujung, berada di wilayah paling timur Kabupaten Karangasem,
di Desa Tumbu, yang berjarak sekitar dua setengah jam dari Kuta. Istana
ini dibangun pada tahun 1919 oleh Raja Karangasem terakhir, I Gusti
Bagus Jelantik, yang memerintah di Karangasem antara 1909 dan 1945.
Letusan Gunung Agung pada tahun 1963 menghancurkan istana air dan
semakin rusak akibat gempa bumi besar tahun 1979. Namun pemerintah telah
melakukan pemugaran terhadap tempat ini.
Sebuah istana air yang dibangun bagi raja untuk menyambut para
tamu penting dan raja-raja dari kerajaan lainnya, juga sebagai tempat
rekreasi bagi raja dan keluarga kerajaan. Pada masa itu taman-taman luas
bergema dengan tawa dari istri raja dan anak-anak saat mereka
bersantai, seraya mencelupkan kaki mereka di kolam. Sekarang daerah ini
sepi dan diisi dengan kekosongan. Beberapa wisatawan lokal dan asing
sibuk mengabadikan keindahan yang tersisa untuk difoto dan menikmati
suasana yang tenang disini.
Sebuah jembatan beton yang panjang menghubungkan area parkir
dan area istana. Di ujung jembatan terdapat taman yang luas. Pada sisi
utara terdapat sebuah bangunan persegi kecil putih di tengah kolam utama
yang dihubungkan dengan dua jembatan di sisi kiri dan kanan. Bangunan
ini sebelumnya berfungsi sebagai kamar tidur raja, ruang pertemuan,
ruang keluarga, dan lainnya. Di sini anda dapat melihat foto-foto lama
Taman Ujung dan juga beberapa foto keluarga kerajaan.
Di samping kolam utama, terdapat pula kolam dengan bale, sebuah
bangunan tradisional terbuka Bali, di tengah-tengahnya. Kompleks Taman
Ujung menggabungkan arsitektur Bali dan Eropa. Di puncak bukit teradapat
sisa-sisa bangunan yang terlihat seperti sebuah kapel tetapi memiliki
gaya khas Bali dengan ukiran di dinding. Di sisi lain, terdapat patung
besar badak dan banteng di bawahnya. Dari tempat ini anda dapat
menikmati pemandangan laut biru berkilauan, hutan hijau subur, dan tentu
saja Gunung Agung yang perkasa yang mendominasi pemandangan langit.
Taman Ujung Karangasem yang disebut juga Taman Sukasada, atau populer juga sebagai ''Water Palace'', terletak di tepi pantai Desa Ujung, Karangasem. Taman
ini adalah salah satu bukti historis yang monumental dari kebesaran
Kerajaan Karangasem di masa lalu. Berdasarkan hasil-hasil penyelidikan
arkeologis-historis dapat diketahui bahwa taman ini adalah sebuah contoh
hasil akulturasi budaya yang serasi antara arsitektur tradisional lokal (Bali) dengan arsitektur Eropa, yang memancarkan kearifan atau keungguhan lokal (local genius).
SANG Arsitek Otodidak Pendiri Taman Ujung Soekasada , salah seorang raja Karangasem, dengan kemampuan teknis-arsitektural dan estetik,
telah berhasil memanfaatkan bentang alam dan lingkungan di sekitarnya
yang berteras-teras, dengan gunung-gunung sebagai latar belakang alami,
sumber air, sungai-sungai dan pesisir Pantai Ujung. Dalam pembangunan
taman ini, sang raja kemungkinan basar telah menggunakan konsepsi
kosmologi masyarakat Bali
sebagai landasan ideologis. Secara kosmologis, pesisir pantai atau laut
adalah bagian hilir atau muara (tebenan), adalah tempat menunggalnya
segala kekuatan magis yang berasal dari gunung atau bukit, yang kemudian
mengalir ke hilir melalui sungai-sungai, seakan-akan secara simbolis
membagi-bagikan air kehidupan kepada masyarakat.
Selain
itu, gunung adalah bagian hulu (luwanan) yang punya kekuatan adikodrati
yang tak tertandingi. Sebaliknya, gunung juga tak selamanya merupakan
kekuatan alam yang ramah, karena dapat menimbulkan bencana besar secara
tiba-tiba, jika ekosistemnya terganggu. Menurut kosmologi masyarakat Bali
dan juga masyarakat lainnya di nusantara, gunung adalah dunia arwah
para leluhur yang punya kekuatan magis, yang dapat memberikan pengaruh
baik-buruk kepada kaum kerabat atau masyarakat yang masih hidup. Dalam
perkembangan selanjutnya, ketika pengaruh agama Hindu telah meluas di
daerah Bali, gunung juga dianggap sebagai tempat bertahtanya para Dewa, yaitu Dewa Gunung seperti Bhatara Gunung Agung, dll.
Demikianlah gunung menjadi suci dan sakral. Dengan berpedoman kepada konsepsi kosmologi itu, pendiri Taman Ujung telah berupaya untuk menyatukan dan memanfaatkan kekuatan-kekuatan yang terkonsentrasi di gunung -- kekuatan alam adikodrati, magis arwah leluhur, dan para Dewa -- untuk kepentingan pembangunan masyarakatnya. Dengan dasar ideologi ini, maka Taman Ujung dapat juga disebut sebagai ''Water Palace'' yang menyandang makna simbolis-magis-religius seperti yang tampak juga pada lambang kerajaan, yaitu Amerta Jiwa. Dari sisi lain, taman ini menjadi lebih signifikan lagi karena berada dalam bingkai segitiga sosiokultural -- Tirta Gangga, Puri Karangasem, dan Taman Ujung.
Tidak mengherankan apabila dalam Perwujudan dari Pemilihan Lokasi, Penataan Lay Out, Penerapan dalam Arsitektur Bangunan dan Penggunaan Ornamen di Taman Ujung dijiwai oleh makna simbolisasi dan Nilai-Nilai Ritual Spiritual seorang Raja yang dilandasi oleh Agama Hindhu. Dan hal yang mendukung saat itu juga muncul hasil karya berupa Geguritan, Sinom dan Tembang-lagu yang mengambil sosok dari keagungan Arsitektur Taman Ujung.
Demikianlah gunung menjadi suci dan sakral. Dengan berpedoman kepada konsepsi kosmologi itu, pendiri Taman Ujung telah berupaya untuk menyatukan dan memanfaatkan kekuatan-kekuatan yang terkonsentrasi di gunung -- kekuatan alam adikodrati, magis arwah leluhur, dan para Dewa -- untuk kepentingan pembangunan masyarakatnya. Dengan dasar ideologi ini, maka Taman Ujung dapat juga disebut sebagai ''Water Palace'' yang menyandang makna simbolis-magis-religius seperti yang tampak juga pada lambang kerajaan, yaitu Amerta Jiwa. Dari sisi lain, taman ini menjadi lebih signifikan lagi karena berada dalam bingkai segitiga sosiokultural -- Tirta Gangga, Puri Karangasem, dan Taman Ujung.
Tidak mengherankan apabila dalam Perwujudan dari Pemilihan Lokasi, Penataan Lay Out, Penerapan dalam Arsitektur Bangunan dan Penggunaan Ornamen di Taman Ujung dijiwai oleh makna simbolisasi dan Nilai-Nilai Ritual Spiritual seorang Raja yang dilandasi oleh Agama Hindhu. Dan hal yang mendukung saat itu juga muncul hasil karya berupa Geguritan, Sinom dan Tembang-lagu yang mengambil sosok dari keagungan Arsitektur Taman Ujung.
Menggali Keindahan Wisata Taman Ujung
Bicara
mengenai objek wisata Bali memang seakan tak ada habisnya. Dari A
sampai Z lokasi dan objek wisata di Pulau Dewata yang terkenal ke
seantero dunia ini lengkap dan sangat memanjakan pengunjungnya. Dari
mulai lokasi wisata pantai, laut, pegunungan, hutan, pura, semuanya
serba tersedia di Bali. Begitu juga dengan apa yang dinamakan dengan
Taman Ujung yang selain dijadikan sebagai lokasi wisata juga memiliki
nilai sejarah yang tinggi.
Aspek Historis
Taman
Ujung ini mulai dibangun sekitar tahun 1919 dan diresmikan tiga tahun
kemudian atau tepatnya tahun 1921. Taman ini dibangun oleh Raja
Karangasem yang dimaksudkan untuk tempat peristirahatan raja dan
keluarganya disamping juga untuk menjamu tamu kehormatan yang datang ke
Karangasem seperti tamu negara, para raja sahabat, dsb. Intinya Taman
Ujung ini memiliki peran yang sangat sentral dalam konteks kenegaraan.
Di
Taman Ujung terdapat tiga buah kolam yang besar dan luas dimana
ditengah kolam paling utara terdapat bangunan yang cukup besar dan
merupakan bangunan utama yang dihubungkan oleh dua buah jembatan. Di
sebelah kolam terdapat berbagai hiasan seperti taman kecil, pot bunga,
dan patung-patung. Bentuk bangunan di Taman Ujung tersebut sangat khas
dan megah karena merupakan perpaduan arsitektur Bali asli dengan Eropa.
Sementara di kolam sebelah barat terdapat sebuah bangunan yang cukup
megah berbentuk bundar yang disebut dengan Bale Bengong yang biasanya
digunakan untuk menikmati keindahan alam dan sekitarnya.
Disebelah
barat ada sebuah perbukitan yang menawan dimana untuk mencapainya
dibuat jalan berundak yang berukuran tinggi dan lebar. Sementara di
sebelah utara taman tersebut, diatas bukit terdapat Patung Warak yang
berukuran sangat besar dan dibawahnya terdapat Patung Banteng dimana
dari mulut kedua patung tersebut keluar air mancur yang menuju ke kolam.
Jika pengunjung sudah mencapai puncak bukit tersebut maka dipastikan
bisa menyaksikan pemandangan alam khas Bali yang sulit ada tandingannya.
Dari
puncak bukit tersebut, jika melihat ke sebelah timur akan terlihat
Bukit Bisbis yang memiliki hutan yang subur dan kelihatan menghijau dari
jauh. Sementara disekitar taman akan banyak dijumpai petakan-petakan
sawah yang berundak-undak khas Bali sehingga karenanya siapapun yang
berkunjung akan bisa menyaksikan perpaduan keindahan pesawahan, laut dan
perbukitan. Namun, sangat disayangkan karena peninggalan budaya
tersebut kini telah hancur akibat letusan Gunung Agung yang terjadi pada
tahun 1979. Meski demikian, hal tersebut tak sampai mengurangi nilai
keindahan dan seni alam Bali.
Lokasi
Taman Ujung berlokasi di Desa Tumbu, Kecamatan Karangasem, berjarak kira-kira 85 Km dari Denpasar atau 5 Km selatan Amlapura.
SEJARAH TAMAN SOEKASADA UJUNG
Rentang Sejarah Taman Soekasada.
Sebelum
tahun 1908 Karangasem merupakan Wilayah Kerajaan. Raja yang memerintah
sampai tahun 1908 adalah Ida Anak Agung Gede Jelantik yang membawahi 21
Punggawa. Setelah Belanda menguasai Kerajaan Karangasem, mulai
terhitung tanggal 1 Januari 1909, dengan Keputusan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tertanggal 28 Desember 1908, Kerajaan
Karangasem dihapuskan dan diubah menjadi Gouvernement Lanscap Karangasem
dibawah Pimpinan Raja I Gusti Gede Jelantik, dengan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda tertanggal 4 September 1928, gelar Stedeheuder diganti dengan Gelar Ida Anak Agung Anglurah Karangasem, yang kemudian diangkat menjadi Zelfbesteur dan dikenal dengan nama
Swapraja. Dan juga berdasarkan Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958,
terhitung mulai tanggal 1 Desember 1958, daerah Swapraja diubah menjadi
Kabupaten Daerah Tingkat II Karangasem.
Invasi
Belanda pada tahun 1908 beberapa Raja memperoleh status sebagai Bupati
yang berada dibawah Pemerintahan Kolonial Belanda. Raja Karangasem juga
mendapat kekuasaaan untuk mengatur Daerah dan Kekayaannya. I Gusti Bagus
Jelantik kemudian bergelar Ida Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem
adalah raja terakhir yang memerintah bali Timur dari tahun 1909 sampai
tahun 1945. Beliau dikenal sebagai Raja yang memiliki Nilai Budaya
Tinggi.
Pengembangan Taman Ujung ini juga disebut sebagai " ISTANA AIR "
ini dimulai tahun 1919 dan rampung tahun 1925, namun pembukaannya pada
tahun 1921. Sebelum Taman Soekasada dibangun sudah terlebih dahulu
dibangun di Pesanggrahan di Manikan yang lebih lazim sekarang disebut Pura Manikan. Nama ini memengandung indikasi bahwa ada Wilayah Ujung yang dianggap Sangat Mulia, Indah dan Potensial. Pura Manikan didirikan oleh Raja yang bernama I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti.
Dengan berbekal Pengetahuan Arsitektur Tradisional yang dipadukan dengan Arsitektur Belanda / Eropah dan Cina dibuat Perencanaan. Sedang untuk arsitektur Tradisinal Bali
yang didapat dari Para Undagi, Raja I Gusti Bagus Djelantik membuat
Perencanaan dari Taman Soekasada Ujung dan sekalian memimpin
Pembangunannya. Jadi Pembangunan Taman Ujung tidak telepas ada hubungan dengan Arsitektur Puri Karangasem dan Arsitektur Taman Tirtagangga.
Pembangunan
Taman Ujung selesai pada tahun 1921, namun pekerjaan pembangunan masih
terus dilanjutkan. Tepatnya pada tahun 1937, Taman Sukasada (Taman
Ujung) Karangasem diresmikan dengan sebuah ‘mahligya’ yang ditandai dengan sebuah prasasti batu marmer yang ditulis dengan huruf latin dan Bali dengan menggunakan dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan Bali. Prasasti tersebut ditempelkan pada salah satu dinding di Bale Warak.
Masa
Keemasan Taman Soekasada, sebagian dari masa keemasan itu tersirat
dalam dua prasasti dari marmer yang dipasang pada Bangunan Warak.
Prasasti sebelah Kiri dengan Aksara Latin dengan Ejaan lama memakai huruf Kapital, terdiri atas 8 baris dengan tulisan sbb:
Marmer sebelah kiri yang bertulis huruf latin berjumlah 8 baris berbunyi:
PERINGATAN.
WAKTOE KARYA
DEWA JADNYA DAN
MALIGIA
DI POERI AGOENG.
KAWAN KARANGASEM.
TANGGAL
6 AGUSTUS 1937.
Sedangkan marmer sebelah kanan dengan aksara dan bahasa bali terdiri dari delapan baris berbunyi
Pekeling daweg rahina karya Dewa Yajna
Miwah malighya ring Puri Agung Kawan Karanasem
Duk rahina, su, pa, wara Perangbakat , pang, ping
14, Sasih 2, Isaka 1859 maka Ling -
ga ring malighya, padhandha Gdhe Ketut Pidhadha hi -
da Anake Hagung Anglurah Ketut karangasem
Raja Lombok, miwah Ida Anake Agung
Gdhe Jelantik Jumneng , Agung ring Karangasem .
Miwah malighya ring Puri Agung Kawan Karanasem
Duk rahina, su, pa, wara Perangbakat , pang, ping
14, Sasih 2, Isaka 1859 maka Ling -
ga ring malighya, padhandha Gdhe Ketut Pidhadha hi -
da Anake Hagung Anglurah Ketut karangasem
Raja Lombok, miwah Ida Anake Agung
Gdhe Jelantik Jumneng , Agung ring Karangasem .
Dari
Upacara Melighya yang dilaksanakan di Taman Ujung memberi inspirasi
kepada Sastrawan Karangasem yang kemudian menghasilkan beberapa
Geguritan Lighya 1937, dengan memakai beberapa Tembang, antara lain Sinom, Durma an Ginanti. Dalam Geguritan inilah Taman Ujung disebut disebut dengan nama "Taman Soekasada" yang berarti Taman yang memberikan kesenangan Lebih.
Kedua prasasti tersebut menunjukkan bahwa pembangunan selesai pada tanggal 6 Agustus 1937.
Bingung mencari kendaraan?
BalasHapusBingung menyewa kendaraan dimana?
Bingung mencari harga yang pas?
Share Trans solusinya.
Share Trans merupakan jasa penyewaan mobil online yang menghubungkan calon penyewa mobil dengan Rent Car atau Owner yang menyediakan kendaraan
Kontak Info 087865097776/08990151556 atau cek di website kami www.sharetrans.id